Jumat, 14 Oktober 2011

Situs Jejaring Sosial di Sekolah Bukan Untuk Dilarang


    Melarang penggunaan situs jejaring sosial di sekolah boleh-boleh saja, namun ini berarti sekolah merampas kesempatan belajar informal para murid. Bagaimanapun, tanpa teknologi, sekolah akan ketinggalan zaman.
Sebuah survei yang dilakukan Pew Internet & American Life Project mengungkapkan fakta bahwa 73 persen remaja menggunakan situs jejaring sosial. Meng-update halaman Facebook atau Twitter telah menjadi kegiatan rutin para remaja. Mereka menggunakan situs jejaring sosial untuk mencari tahu apa yang dilakukan teman-teman mereka.
Sebagian besar remaja ini menggunakan situs jejaring sosial di luar sekolah. Ini karena banyak sekolah melarang murid mengakses situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, karena secara edukasi dianggap tidak relevan bagi sekolah. Tak jarang sekolah juga mem-filter komputer agar murid tak bisa mengakses layanan tersebut.
Ibaratnya menggunakan buku, buku mungkin menjadi yang utama dipakai di sekolah. Tapi tidak semua buku cocok dipakai di sekolah. Para pendidik tidak mungkin melarang penggunaan buku hanya karena ada beberapa buku yang tidak sesuai. Yang ada yaitu pendidik memilih buku yang sesuai digunakan di sekolah sesuai kurikulum pendidikan.
Hal yang sama, menurut co-director ConnectSafely.org, Anne Collier, seharusnya juga diterapkan untuk situs jejaring sosial. Karena tidak semua isi di situs jejaring sosial berdampak buruk.
Larangan-larangan, terlebih lagi di era internet seperti sekarang ini, dikhawatirkan akan mengganggu proses belajar informal anak. Banyak ide-ide inovatif yang sebenarnya bisa dijalankan, misalnya membuat tools jejaring sosial khusus untuk sekolah.
Ide pembuatan situs jejaring khusus tersebut telah dikembangkan Flat Classroom Project (http://flatclassroomproject.ning.com), sebuah proyek kolaboratif global yang membuat situs jejaring sosial khusus untuk sekolah. Lewat situs ini, para murid dapat berinteraksi layaknya di situs jejaring sosial lain tidak hanya dengan teman sekelas, tetapi juga dengan murid di sekolah lain, baik di Amerika Serikat maupun luar negeri.
Proyek ini berbasiskan Web 2.0 sehingga komunikasi dan interaksi antara siswa dan guru dari semua kelas di seluruh dunia dapat berjalan lebih mudah. Lewat situs ini, para murid ‘dirangsang’ untuk menganalisis tren teknologi, memahami efek teknologi bagi dunia menurut pandangan pribadi, membuat halaman web, blogging, mem-posting foto, video dan wiki.
Ide seperti ini bukan tidak mungkin diterapkan di Indonesia. Jadi, bukan berarti perkembangan teknologi harus dibendung, tetapi yang harus dilakukan adalah mengantisipasinya dengan cara-cara yang inovatif seperti yang dikembangkan Flat Classroom Project.

Artikel Terkait Lainnya:


Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Saya tidak online 24 Jam dan hanya sendiri mengurus blog ini, jadi silahkan berkomentar dengan kata-kata yang baik dan sopan. Komentar SPAM, SARA dan sejenisnya akan langsung di hapus!